Menjadi Manusia Bodo Amat yang Tidak Bodoh-Bodoh Amat
Sebagai manusia yang memiliki perhatian yang sangat terbatas, kita tidak menyadari bahwa kita malah peduli dengan hal-hal yang sebenarnya tidak penting bagi diri kita. Sikap "bodo amat" yang terkesan negatif, ternyata kita perlukan juga agar kita bisa tetap "waras" di dunia yang semakin aneh ini.
Judul Buku : Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat
Judul Asli : The Subtle Art of Not Giving a Fuck
Pengarang : Mark Manson
Penerbit : Grasindo
Tahun Terbit : 2018
Tebal Buku : 247 halaman
ISBN : 978-602-452-698-6
Buku ini terbagi menjadi sembilan bab dan setiap dari bab tersebut diselipkan beberapa cerita, baik itu cerita dari penulis sendiri, orang-orang dekat penulis atau tokoh-tokoh terkenal yang ceritanya relevan.
Pada bab pertama, penulis menjelaskan maksud dari buku ini dan bagaimana sikap “bodo amat” yang dimaksudkan, mengapa sikap ini menjadi penting di era modern ini terlebih dengan gempuran informasi dari media sosial, iklan di televisi dan harapan orang-orang. Hal ini diletakkan di awal bab kemungkinan agar judulnya yang sedikit nyeleneh tidak disalahartikan oleh pembaca.
“Inilah mengapa, bersikap masa bodoh, adalah kuncinya. Inilah alasan mengapa itu akan menyelamatkan dunia. Dan kuncinya adalah jika kita bisa menerima bahwa dunia ini benar-benar keparat dan itu tidak apa-apa, karena memang seperti itu, dan akan seperti itu adanya.” (halaman 9)
Konsep Terbalik : Bodo Amat tetapi Peduli
Bodo amat yang dimaksud Mark Manson di buku ini bukanlah bodo amat terhadap semua hal, namun bodo amat terhadap hal-hal yang kurang penting di dalam hidup. Dengan kata lain, Mark sebenarnya mengajak untuk meningkatkan kepedulian terhadap hal-hal yang penting dan bermakna di dalam kehidupan.
“Anda dan setiap orang yang anda kenal, akan meninggal suatu saat nanti. Dan dalam waktu yang singkat antara di sini dan di sana, perhatian yang Anda miliki terbatas. Sangat sedikit, bahkan. Dan jika Anda memedulikan setiap hal dan setiap orang tanpa pertimbangan atau pilihan yang matang-well, hidup Anda tentu akan kacau.” (halaman 15)
Namun untuk menerapkan bersikap bodo amat tersebut, kita perlu melihat dan mengevaluasi terlebih dahulu nilai-nilai yang kita anut. Nilai adalah konsep yang kita pegang dan kita yakini, yang kelak akan menjadi standar dari kebahagiaan kita. Ia menyebutkan beberapa contoh tokoh-tokoh yang menurutnya menggenggam nilai-nilai yang salah, sehingga sesukses apapun ia di mata dunia ia tetap merasa dirinya sebagai sebuah kegagalan yang menyebabkan hidupnya tidak bahagia.
Tidak Apa-Apa Menjadi “Biasa”
Menurut Mark, setiap orang ingin menjadi istimewa dengan dua cara, yaitu merasa diri lebih tinggi dari orang lain, sehingga orang lain harus memperlakukannya dengan baik atau merasa diri lebih rendah / menyedihkan dibandingkan orang lain sehingga orang lain simpati kepadanya.
Hal ini terjadi karena informasi televisi dan media sosial menampilkan sisi ektrim kurva lonceng pengalaman manusia sehingga keistimewaan adalah standar bagi semua orang. Tentang kurva lonceng tidak terlalu dijelaskan di buku ini. Kemungkinan dianggapnya semua pembaca sudah paham karena hal ini merupakan hal yang umum dan lumrah digunakan, meski istilah ini berasal dari ilmu statistika.
Jadi merujuk ke kurva lonceng tersebut, sebenarnya sebagai manusia hanya sebagian kecil dari kita yang “istimewa”. Sebagian besar dari kita adalah biasa saja dan membosankan. Mark mengingatkan kita tentang hal itu dan berusaha menyadarkan kita bahwa tidak apa-apa menjadi biasa saja.
Menyelesaikan Masalah Sendiri
Di buku ini juga disampaikan bahwa kita bertanggung jawab atas masalah kita sendiri. Untuk menyelesaikan masalah, hal-hal yang harus dilakukan di awal adalah tidak menyangkal bahwa ada masalah dan tidak bermental korban. Kemudian, kita berusaha mencari akar masalah tersebut karena seringkali masalah yang ada bukan masalah yang sebenarnya.
“Jika Anda menyadari kalau Anda secara konsisten memberikan porsi perhatian yang terlalu berlebihan untuk hal sepele yang membuat Anda gusar –foto baru mantan pacar Anda di Facebook, betapa cepat remote TV Anda mati, kehilangan kesempatan membeli hand sanitizer dua gratis satu– artinya, Anda tidak punya sesuatu yang layak dikerjakan di hidup ini. Dan itulah masalah Anda sesungguhnya. Bukan hand sanitizer. Bukan remote TV.” (hal 20)
Selanjutnya kita memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikannya dengan memilih respon yang tepat untuk masalah tersebut.
“Dengan kata lain, emosi negatif adalah suatu panggilan untuk bertindak. Ketika Anda merasakannya, itu karena seharusnya Anda melakukan sesuatu. Emosi positif, sebaliknya, merupakan imbalan atas tindakan yang tepat. … Dan, seperti hal-hal lain, emosi positif pun akan berlalu, seiring datangnya masalah-masalah baru.” (halaman 39)
Berkomitmen Kepada yang Tidak Sempurna
Apa hal-hal yang membuat kita bahagia, itu pula yang membuat menderita. Untuk mencapai kebahagiaan yang berupa nilai yang diyakini, ada pengorbanan untuk mendapatkannya dan akan ada masalah-masalah yang selalu timbul setelahnya.
“Saat kita merasa memilih sendiri masalah yang kita hadapi, kita merasa lebih berkuasa. Ketika kita merasa bahwa suatu masalah datang karena dipaksakan, bertentangan dengan kehendak kita, kita merasa menjadi korban dan menjadi sedih” (halaman 108)
“Pertumbuhan merupakan proses yang berulang yang tidak pernah berakhir. Ketika kita mempelajari sesuatu yang baru, kita tidak beranjak dari “salah” menuju “benar”. Namun, kita berangkat dari salah menuju sedikit salah. Dan ketika kita menambahkan sesuatu yang baru lagi, kita bergerak dari sedikit salah ke kesalahan yang lebih sedikit, dan kemudian kesalahan yang lebih sedikit lagi, dan seterusnya. Kita selalu dalam proses mendekati kebenaran dan kesempurnaan tanpa benar-benar dapat meraih kebenaran dan kesempurnaan itu sendiri” (halaman 137)
“Semakin banyak pilihan yang diberikan, kita akan menjadi semakin kurang puas atas apa pun yang kita pilih, karena kita sadar akan semua pilihan lain yang mungkin sesekali kita korbankan” (halaman 216)
Komentar
Posting Komentar